Sorot
SOROT 155
Teroris 2.0
Menggali pengetahuan dan keyakinan lewat internet, lalu berakhir di aksi bom bunuh diri.
Jum'at, 30 September 2011, 23:46 WIB
Edy Haryadi Rina Ristiningsih, perempuan operator di Solonet itu sedang bertugas pada Ahad 25 September 2011. Dia menjaga lima belas bilik komputer, dan pagi itu belum semua terisi. Lelaki itu tak banyak bicara, dan memilih satu bilik agak di sudut. Nomer sembilan.
Di sana, dia lalu mulai login. Komputer admin mencatat nama Oki. Kelak, di histori internet, terekam lelaki itu mengakses sejumlah situs jihad. Yang dibacanya juga gawat: artikel bom bunuh diri. Juga perjuangan para mujahidin.
Rina tak terlalu peduli. Sejam kemudian, lelaki itu keluar dari bilik. Dia menitipkan ranselnya kepada Rina, dan lalu menghilang sebentar. Dia sempat bercerita datang dari Jakarta, dan ke Solo untuk mencari kerja.
Ia kembali ke warnet Solonet pada pukul 10.15 WIB. Di situ, ia login kembali. Komputer admin mencatat nama Eko. Tapi ia tak lama di bilik itu. Hanya sepuluh menit. Histori internet mencatat dia masuk ke situs Al Qaedah dan Arrahmah.com.
Setelah itu laki-laki itu keluar. Dia menghilang.
Tak sampai setengah jam, ledakan keras terdengar dari arah Gereja Bethel Injil Sepenuh. Jarak dari warnet ke gereja itu memang tak jauh. Lebih kurang 200 meter.
Rina lebih terkejut lagi, ketika menyimak berita bahwa ada bom bunuh diri di gereja itu, dan pelakunya adalah lelaki asing di bilik nomer sembilan itu. “Kalau melihat foto pelaku, ciri-cirinya persis dengan yang berkunjung ke warnet ini,” ujarnya.
Lelaki asing itu rupanya masuk lewat pintu samping gereja saat jemaah sudah selesai menjalani misa kedua. Bom bunuh diri dipicu pria itu pada pukul 10.55 WIB di pintu utama gereja. Dia, lelaki beransel hijau itu tewas di tempat. Perutnya terburai. Sementara 28 orang jemaat gereja terluka akibat mur, baut, dan paku muntah dari bom laknat itu.
Buronan Cirebon
Dua hari kemudian, setelah tes sidik jari dan DNA dilakukan polisi, identitas lelaki itu pun terungkap. Namanya Pino Damayanto. Dia juga punya banyak alias: Akhmad Urip, alias Abu Daud, alias Akhmad Yosepa Hayat, atau Raharjo, atau Hayat. “Dari sidik jari, ada 15 titik kesamaaan,” kata juru bicara Mabes Polri, Inspektur Jenderal Anton Bachrul Alam.
Dia sudah lama diburu polisi terkait kasus bom bunuh diri di Mapolresta Cirebon, April lalu. Siapakah Hayat?
Lahir di Losari, Cirebon, tanggal 19 Oktober 1980, ayahnya Daud Turani dan ibunya Hindun. Karena sakit-sakitan namanya diganti menjadi Akhmad Urip. Saat dewasa dia dipanggil Hayat.
Hayat adalah anak sulung dari istri kedua Daud yaitu Hindun. Ia memiliki dua adik, yakni Teno Matsusima dan Nola. Sementara dari pernikahan pertamanya dengan wanita bernama Kuriah, Daud mendapat dua anak yakni Feni Susanti dan Tino Tondano.
Hayat kecil pernah tinggal di Desa Astanalanggar, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon. Menurut Kepala Desa Astanalanggar, Gurotin Mas’ud, Hayat tak tinggal lama di desa itu. Sebab pada 1988 ia bersama keluarga besarnya ikut bertransmigrasi. “Ke Sambas, Kalimantan Barat,” kata Gurotin.
Menurut paman Hayat, Imran Masio, sebelum pindah ke Sambas, Daud pernah menjadi pengusaha rokok. Nama perusahaan rokoknya adalah Damai. “Maka anaknya dinamai Pino Damayanto,” kata Imran.
Pada 1993, keluarga besar Hayat kembali ke Cirebon. Ayahnya lalu pindah ke Pandesan. Dia berdagang bakso di sana. Saat itu Hayat mulai bersekolah di SMP Assuniyah, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon. Selanjutnya pada tahun 1996, Hayat bersekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Dwi Bhakti, Kecamatan Ciledug, Kabupaten Cirebon.
Dalam prestasi belajar, Hayat tak menonjol. Ijazahnya rata-rata mendapat nilai 7.
Asep Sucipta Spd, rekan sekelas Hayat yang kini guru di SMK Dwi Bhakti, menuturkan Hayat suka menyendiri, dan juga pendiam. “Dia punya hobi menggambar,” ujar Asep. Hayat pernah bercita-cita ingin menjadi seorang teknisi mesin.
Selama sekolah di SMK Dwi Bhakti itu pula Hayat mulai terlibat dalam pengajian. “Dia mulai aktif pengajian saat di SMA,” pamannya, Imran, menjelaskan. Dari pengajian inilah dia mengenal organisasi massa radikal. Di antaranya Laskar Mujahidin Cirebon.
Andi Mulya, Ketua Laskar Mujahidin Cirebon, tak membantah Hayat pernah bergabung di organisasinya. “Dia memang pernah bergabung,” kata Andi. Selanjutnya, kata Andi, Hayat bersama M Syarief, pelaku bom bunuh diri di masjid Mapolresta Cirebon April lalu, bergabung dengan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) Cirebon. Dari situlah, secara organisasi Hayat terputus dengan Laskar Mujahidin. “Tapi secara pertemanan, tetap terjalin, sering bertemu,” kata Andi.
Pada 19 September 2010, Hayat dan M. Syarief menyerang dan merusak tiga minimarket di Cirebon. Alasannya di kedai serba ada itu menjual minuman keras. Dari lima tersangka dicokok polisi, salah satunya Agung Nur Alam, Ketua JAT Cirebon. Dia dihukum lima bulan karena aksi itu. Tapi Hayat dan Syarief lolos.
Dalam ingatan Andi Mulya, Hayat memiliki sifat pendiam. "Tak sebrutal teman-temannya," tambah dia.
Agung Nur Alam, Ketua JAT Cirebon juga tak membantah Hayat pernah bergabung ke JAT. Tapi sejak dinyatakan DPO (daftar pencarian orang) dalam kasus perusakan minimarket, “Saya tidak pernah bertemu M Syarief dan Hayat.”
Agung menuturkan Hayat lebih lama bergabung di Laskar Mujahidin ketimbang JAT Cirebon. Hayat, katanya, lima tahun menjadi anggota organisasi eks mujahidin Afganistan itu. (Simak juga infografik "Lari dari Cirebon, Beraksi di Solo")
Belajar dari internet
Enam jam setelah bom Solo meledak, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan bahwa hasil investigasi sementara dari polisi aksi teror di Solo memiliki benang merah dengan aksi teror di Cirebon. “Pelaku pemboman adalah anggota jaringan teroris Cirebon enam bulan lalu,” kata dia.
Mabes Polri juga menyatakan Hayat adalah jaringan teroris Cirebon. Pada 15 April 2011, jaringan ini melakukan aksi serupa di Masjid Adzikra, Kompleks Mapolresta Cirebon. Saat itu, pelaku bom bunuh dirinya adalah Muhammad Syarief.
Hayat juga terlibat perusakan Alfamart dan Indomart Cirebon pada September 2010. "Hayat juga termasuk salah satu anggota JAT Cirebon," kata juru bicara Mabes Polri Anton Bachrul Alam.
Mantan komandan Jamaah Islamiyah untuk Asia Tenggara, Nasir Abbas mengatakan, aksi bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Tegal Harjo, Jebres, Solo, Jawa Tengah, adalah aksi sporadis dari kelompok kecil yang berjumlah dua hingga tiga orang.
"Saya melihat mereka ini lebih pada kelompok kecil,” katanya. Mereka, kata Nasir, biasanya merekrut sendiri anggotanya. Paling banyak hanya tiga orang .
Nasir menjelaskan, bom bunuh diri di Solo itu, tak beda jauh dengan di Cirebon pada 15 April 2011 lalu. Itu terjadi, kata Nasir, karena keterbatasan dana. Mereka memilih kota-kota kecil. Jika dilakukan di Jakarta, kelompok ini perlu dana besar untuk akomodasi dan transportasi.
Periset soal terorisme, Sidney Jones, menilai kelompok Hayat adalah kelompok baru.
“Hayat boleh dibilang generasi ketiga setelah Dr Azahari,” ujar peneliti senior di International Crisis Group (ICG) Asia Tenggara itu. Itu juga, kata Sidney, yang membedakan antara kelompok Hayat dan Dr Azahari.
Pada masa Dr Azahari, pelatihan kader Jemaah Islamiah bisa memakan waktu 1-3 tahun. Ini termasuk praktek membuat bom. Tapi kelompok Hayat dan M Syarif, menurut Sidney, hanya mendapat pelatihan militer 1-3 bulan.
Itu sebabnya, mutu aksi kelompok baru ini menurun. “Korban kelompok Hayat lebih sedikit dibanding korban kelompok Dr Azahari,” katanya.
Dari mana mereka belajar? Sidney melihat peran penting situs radikal bagi kelompok Hayat. “Situs radikal turut andil dalam terorisme,” ujarnya menegaskan. Sebab dari situs ini bisa dipompa kebencian, sekaligus propaganda untuk calon ‘pengantin’ atau calon pelaku bom bunuh diri. (Baca juga "Blokir Seratus, Tumbuh Seribu")
Entah untuk meyakinkan dirinya, Hayat memang melihat situs radikal dulu sebelum meletupkan diri di gereja. Ini era teroris 2.0?
vivanews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar