Kamis, 31 Mei 2012


Tanpa Izin Usaha, Ekspor Mineral Justru Marak

Tiga tahun terakhir, terjadi peningkatan ekspor bijih mineral secara besar-besaran.

KAMIS, 31 MEI 2012, 19:24 WIB
Antique
VIVAnews - Tiga tahun terakhir, setelah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara diterbitkan, terjadi peningkatan ekspor bijih mineral secara besar-besaran. 

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akhirnya berupaya mengendalikan ekspor bijih mineral tersebut dengan mengeluarkan Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. 

Selain mengendalikan ekspor bijih mineral yang terus meningkat, melalui permen itu, pemerintah berupaya menjamin ketersediaan bahan baku untuk pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri dan mencegah dampak negatif terhadap lingkungan.

"Bagi sejumlah daerah, keharusan membangun perusahaan smelter merupakan kebijakan baru. Namun, tidak demikian dengan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Sebab, puluhan perusahaan smelter telah berdiri sebelum kebijakan tersebut diterbitkan," kata anggota Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) Bangka Belitung, Bambang Herdiansyah, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis 31 Mei 2012.

Baginya, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung bukan hanya membutuhkan permen yang mengharuskan perusahaan tambang membangun smelter untuk menyelamatkan lingkungan dan ketersediaan bahan baku, melainkan peraturan yang bisa mencegah sejumlah pengusaha timah menyelundupkan timah asal Bangka Belitung tersebut.

Kekhawatiran Bambang cukup beralasan. Sebab, menurut Deputi Bidang Koordinasi Perdagangan dan Industri Kementerian Kordinator Perekonomian Edy Putra Irawadi, para pedagang perantara atau broker barang tambang masih dapat mengekspor hasil tambang mineral Indonesia, meski tidak memiliki izin usaha pertambangan (IUP) dan tidak membangun fasilitas pemurnian mineral atau smelter. Hal ini membuat peraturan menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012 menjadi lemah.

Situasi tersebut bisa membuat ekspor mineral tetap tidak terkendali, meski saat ini pemerintah telah menetapkan bea ekspor tambang sebesar 20 persen. 

Menurut Bambang, hal serupa itu juga mungkin terjadi dengan para broker timah di Bangka Belitung. Sebab, hingga saat ini, tidak semua pengusaha timah di Bangka Belitung mau menjual produk timahnya melalui Pasar Timah Indonesia yang telah digagas pemerintah pada Januari 2012.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Thamrin Sihite, juga menyatakan, pihaknya mendukung adanya aturan yang bisa mendorong pasar timah dalam negeri lebih meningkat.
Namun, segala prasyarat harus dipenuhi agar nantinya Pasar Timah Indonesia mampu bersaing dengan pasar komoditas timah yang sudah ada. "Saya pikir standardisasi untuk timah di dalam negeri menjadi penting," ungkapnya belum lama ini.

Thamrin juga meyakini Pasar Timah Indonesia bisa mendorong penciptaan lapangan kerja baru, di samping meningkatkan pendapatan negara, karena produk yang dipasarkan sudah memiliki nilai tambah.

Sementara itu, Staf Khusus Menteri ESDM bidang Mineral Batu Bara, Tabrani Alwi, menuturkan, regulasi terkait Pasar Timah Indonesia perlu didorong melalui Kementerian Perdagangan, karena hal itu menjadi domainnya.
Aturan tersebut, menurut dia, bisa saja berupa Peraturan Menteri Perdagangan, yang mewajibkan semua produsen timah domestik menjual produknya melalui Pasar Timah Indonesia. (art)


• VIVAnews 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar